Borobudur
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat lautYogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai
tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus
berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun
umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[2] Para peziarah
masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga
tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah
berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada
abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam.[3] Dunia mulai
menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah
mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk
dalam daftar Situs
Warisan Dunia.[4]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah
keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang
dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak.
Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang
paling banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]
Stupa Borobudur dengan jajaran
perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam Bahasa Indonesia,
bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilahcandi juga digunakan
secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang,gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran
pemandian). Asal mula namaBorobudur tidak jelas,[8] meskipun memang
nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[8] Nama Borobudur
pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah
Pulau Jawa" karya Sir
Thomas Raffles.[9] Raffles menulis
mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang
menyebutkan nama yang sama persis.[8] Satu-satunya
naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha
yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang
ditulis oleh Mpu
Prapanca pada 1365.[10]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan
ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan
candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang
seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga
menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa
Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".[8]Akan tetapi
arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari
istilah bhudhara yang berarti gunung.[11]
Banyak teori yang berusaha
menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan
berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di
lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya.
Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan
lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal
dari kata vihara, sementara ada
pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya
kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah
"tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti
"di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di
tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam
disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat
bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri
Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang
melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat
diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas
pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlānyang disebut Bhūmisambhāra. [12] Istilah Kamūlān sendiri berasal
dari kata mula yang berarti tempat asal muasal,
bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa
Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra
Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan
kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[13]
Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur
dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat
laut dari Kota
Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang
dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah
barat laut danMerbabu-Merapi di sebelah
timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat
jajaran perbukitan Menoreh,
serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progodan Sungai Elo di sebelah
timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat
yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau
Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[14]
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan
Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20
ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur
membentang dalam satu garis lurus.[15] Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu
terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang
menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya
beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi
para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga
candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan
ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan
adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan
tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui
secara pasti.[10]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga
ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan
tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur
dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar
Borobudur kini disimpan di Museum KarmawibhanggaBorobudur, yang terletak
di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum
Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon
ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa
arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, sertaGanesha. Akan tetapi
batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan
rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini
Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau purba
Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga
dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah
datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.[16] Keberadaan
danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada
abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan
di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J.
Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah
sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga terataiyang
mengapung di atas permukaan danau.[11] Bunga teratai
baik dalam bentuk padma (teratai merah),utpala (teratai biru),
ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam
semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang
regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk
arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di
Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan
Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha
yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak
Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.[16] Akan tetapi
teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai
bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah
ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar
Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar
danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan
Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat
situs ini.[17] Sebuah
penelitianstratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan
danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[16] yang memperkuat
gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah
dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur
pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan
ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah
bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya.
Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[18]
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat
kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah
yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[19] Waktu
pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang
tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 masehi.[19] Kurun waktu ini
sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[20] yang kala itu
dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[21][22]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang
berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra
diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan prasasti
Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu
Siwa.[21] Pada kurun
waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu.
BerdasarkanPrasasti
Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun
di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah
timur dari Borobudur.[23] Candi Buddha
Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan,
meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh
lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun
850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur —
saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi.[24] Bahkan untuk
menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas
Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun
untuk memuliakan Bodhisattwadewi
Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun
778 Masehi.[24] Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak
pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja
penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha,
demikian pula sebaliknya.[25] Akan tetapi
diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa
Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian
wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[26] Ketidakjelasan
juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi
megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban
wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[26] akan tetapi
banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang
penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat
dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[27]
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal
Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga
massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan
kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar
stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa
induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1.
Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti
(diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit
alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya
Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan
dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit
tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya
dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak,
tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun
tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
2.
Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu
undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat
besar.
3.
Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran
dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran.
Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran
undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan
tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli
sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur
semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur
teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga
mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti
Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan
disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan
runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang
besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan
stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding
candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus
kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang
yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4.
Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief,
penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang
pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad
terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon
dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit.
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum
diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak
lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu
kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timursetelah
serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah
yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga
bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[3][16] Bangunan suci
ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis
pada masa kerajaan Majapahit.
Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976)
juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan
sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[3]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng
rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan
penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk
yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi
Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan
Mataram pada 1709.[3] Disebutkan
bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan
dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah
Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro,
putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang
mengunjungi monumen ini pada 1757.[28] Meskipun
terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang
Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam
kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa
berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan
meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram
Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh
halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan
kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini
tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang
wabah penyakit sepertidemam
berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah
monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera
Belanda tampak pada stupa utama candi.Teras tertinggi setelah restorasi Van
Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra(payung) susun
tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam
memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada
kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah
Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak
antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan
Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya diSemarang tahun 1814, ia
dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro.[28] Karena
berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi
sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang
insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua
bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar
yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur
candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan
semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan
berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan
beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini,
serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[9]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di
Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh
bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas
kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama.[29]Pada 1842,
Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi
misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C.
Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen
ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk
melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya
pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian
Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak
untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain,
C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan
sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian
lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam
bahasa Perancis setahun kemudian.[29] Foto pertama
monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[30]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu
yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca
buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh
pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi
incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882,
kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya
dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[30] Akibatnya,
pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini;
laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar
bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata,
arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun
1896, Raja
Thailand, Chulalongkorn ketika
mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki
beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan
menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak
yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu
dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan
gerbang, dan arca penjaga dwarapalayang pernah
berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa
artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional
di Bangkok.[31]
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika
Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki
tersembunyi.[32] Foto-foto yang
menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[33] Penemuan ini
mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian
monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga
pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor
van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer,
insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah
rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak
harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan
batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan
pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua,
memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus
dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang
rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada
saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan
prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp.[34] Tujuh bulan
pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan
kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun
kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van
Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain
yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp
melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu
susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur
telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka
atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya
memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak
memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring
dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[34] Van Erp
menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan
kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu
candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak
cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah
Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat
internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[35]Pemerintah
Indonesia dan UNESCO mengambil
langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara
tahun 1975 dan 1982.[34] Pondasi
diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan
dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem
drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan
kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[36] Setelah
renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs
Warisan Dunia pada tahun 1991.[4] Borobudur masuk
dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang
jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai
manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia,
dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan
tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dab
jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan
gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra
yang memiliki makna universal yang luar biasa".[4]
Peristiwa kontemporer
Biksu peziarah tengah bermeditasi di
pelataran puncak
Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung
oleh UNESCO,[35] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada
saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia
memperingati hari suciWaisak,
hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha
Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi
Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia[37] dan upacara
peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari
Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.[38]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[39] Pada 1991 seorang
penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie,
dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan
bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[40] Dua anggota
kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986
dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.
Sendratari "Mahakarya
Borobudur" digelar di Borobudur
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling
banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang
36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[6] Angka ini
meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah
wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelumKrisis finansial Asia 1997.[7] Akan tetapi
pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga
beberapa konflik lokal kerap terjadi.[6] Pada 2003,
penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan
protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang
berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.[41] Upaya
masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata
Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan
tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan
pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan
bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata
sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan
jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua
ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang
pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan
korban terbanyak di Yogyakarta,
akan tetapi Borobudur tetap utuh.[42]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of
Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur
Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan
UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand,
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik
gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur.
Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan
beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut
dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Batu peringatan pemugaran candi
Borobudur dengan bantuan UNESCO
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam
upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung;
(ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian
bagian-bagian yang hilang.[43] Tanah yang
gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur
bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja
batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang
yang dapat merusak struktur bangunan.[43] Meningkatnya
popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga
Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh
apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga,
vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering
terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk
membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap
kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.[43]
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober
adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang
berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah
Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter
(1 in)[44] menutupi
bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar,
dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam
dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9
November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[45][46]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan
Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan
dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan
candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan,
disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk
menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat setempat.[47] Lebih dari
55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan
drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi
berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[48]
Arsitektur
Borobudur dilihat dari pelataran sudut
barat laut
Lorong koridor dengan galeri dinding
berukir relief
\Konsep
rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila
dilihat dari atas membentuk pola Mandalabesar.
Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam
semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh
pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhabMahayana yang secara
bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep
alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[49] Bagaikan sebuah
kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus
dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki
sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras
teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan
struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[32] Kaki
tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief
panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk
membuat adegan dalam gambar relief.[50] Kaki asli ini
tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup
luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa
penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[50] Teori lain
mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki
asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur
dan tata kota.[32] Apapun alasan
penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan
dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha
adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia
yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian
ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk
memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur
tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur
batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000
meter kubik.[2]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang
pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya
berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar
relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif.
Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih
terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di
atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam
relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[2] Pada pagar
langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai
ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran
relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan
relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan
ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak
berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkanalam
atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk
dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada
pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam
tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa
kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing
berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya
sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung
Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun
ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud
yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan
patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung,
yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian
lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak
selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh
dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan
banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna
kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna
dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.
\Struktur
bangunan
Arca singa penjaga gerbang
Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran
drainase
Penampang candi Borobudur terdapat
rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala
Tangga Borobudur mendaki melalui
serangkaian gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari
tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[51] Batu ini
dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa
menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa
menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang
tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang
mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan
dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik
untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan
kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan
rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya,
candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami.
Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang
ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang
bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di
lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki
mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi
lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[51]Stupa memang
dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa
dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara
kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit
dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur
bernama Gunadharma,
sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[52] Namanya lebih
berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah.
Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh
yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan
bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang
wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak
jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak
tangan dikembangkan sepenuhnya.[53] Tentu saja
satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi
satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio
perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula
ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri
perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[53][54] Rasio matematis
ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya.
Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi
dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di
candiAngkor Wat di Kamboja.[52]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar
(kaki), tubuh, dan puncak.[52] Dasar berukuran
123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki).[51] Tubuh candi
terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya.
Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya
mundur 2 m (6.6 kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan.
Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan
stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar
di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur
termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat
sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui
serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang
dihiasi ukiran Kala pada puncak
tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol
di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi
di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca
kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit
yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
\Relief
Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan
gaya dan citarasa estetik yang anggun
Letak relief kisah-kisah naskah suci
Buddha di dinding Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada
teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan
sangat teliti dan halus.[55] Relief dan pola
hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik
yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling
elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.[56] Relief
Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh
yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan,bidadari atapun makhluk
yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa,
seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut
"lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher,
pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki,
sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini
menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan
sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[57]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok
manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan,
serta menampilkan bentuk bangunan vernakular
tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang
merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti
kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan
mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung,
istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan
dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah
satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.[58] Kapal kayu
bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika
bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum
Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[59]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal
dari bahasa
Sanskertadaksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi
ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini
senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke
timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding
dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
|
|||
Tingkat
|
Posisi/letak
|
Cerita Relief
|
Jumlah Pigura
|
Kaki candi asli
|
-----
|
160
|
|
Tingkat I
|
dinding
|
120
|
|
120
|
|||
langkan
|
a. jataka/awadana
|
372
|
|
b. jataka/awadana
|
128
|
||
Tingkat II
|
dinding
|
128
|
|
langkan
|
jataka/awadana
|
100
|
|
Tingkat III
|
dinding
|
Gandawyuha
|
88
|
langkan
|
Gandawyuha
|
88
|
|
Tingkat IV
|
dinding
|
Gandawyuha
|
84
|
langkan
|
Gandawyuha
|
72
|
|
Jumlah
|
1460
|
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara
singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di
dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang
menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni
sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan
cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang
mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran
terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran
kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak
pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri
untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat
dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di
Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan
relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari
turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama
di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi
sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha,
putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga
berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai
cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah
yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan
Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitabDiwyawadana yang berarti
perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.
Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita
Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam
usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana
yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab
lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha
Sebuah arca Buddha di dalam stupa
berterawang
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir
di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi
teratai serta menampilkan mudra atau sikap
tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat
dari bahan batu andesit.[2]
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur
berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang
pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris
kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris
kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.[1] Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran
melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada
pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan
pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.[1] Dari jumlah
asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa
kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri
sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[60]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa,
akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi
sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan
Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat
pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat,
dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca
Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang
di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan
lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[61]
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan
mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca
buddha di Borobudur adalah:
Arca
|
Mudra
|
Melambangkan
|
Dhyani Buddha
|
Arah Mata Angin
|
Lokasi Arca
|
Bhumisparsa mudra
|
Memanggil bumi sebagai saksi
|
Timur
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatusisi timur
|
||
Wara mudra
|
Kedermawanan
|
Selatan
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatusisi selatan
|
||
Dhyana mudra
|
Semadi atau meditasi
|
Barat
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatusisi barat
|
||
Abhaya mudra
|
Ketidakgentaran
|
Utara
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatusisi utara
|
||
Witarka mudra
|
Akal budi
|
Tengah
|
Relung di pagar langkan baris kelima (teratas)Rupadhatu semua sisi
|
||
Dharmachakra mudra
|
Pemutaran roda dharma
|
Tengah
|
Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkarArupadhatu
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar